Mendeskripsikan
Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik
Sosialisasi Budaya Politik
·
Makna Sosialisasi Kesadaran Politik
Sosialisasi politik merupakan konsep
yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika Robert Hyman pada tahun
1950-an. Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu proses penyerapan
nilai dari lingkungan sistem politik ataupun masyarakat terhadap individu atau
terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan
politik menyadari bahwa pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku politik
selalu terjadi dan merupakan satu proses yang penting artinya dalam kehidupan
politik. Kaitan antara sosialisasi politik dan sistem politik dijelaskan oleh
David Easton dan Janck Dennis. Keduanya mengemukakan bahwa tujuan sosialisasi
politik adalah untuk memantapkan sistem politik itu sendiri. Dengan diserapnya
nilai-nilai politik atau orientasi-orientasi politik dari suatu sistem politik,
maka diharapkan bahwa warganegara mempunyai seperangkat pengetahuan atau
seperangkat nilai yang diperlukan untuk mendukung terpeliharanya sistem politik
.
Sosialisasi politik merupakan satu
konsep yang menentukan prilaku politik masyarakat. Dalam banyak masyarakat,
pelestarian norma dan sikap politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya
sangat penting artinya bagi tegak berdirinya satu kekuatan politik (partai).
Sosialisasi yang baik dianggap dapat meningkatkan stabilitas politik. Proses
sosialisasi politik ini dapat terjadi karena pendidikan politik yang sering
diadakan.
Secara umum, sosialisasi melalui
tiga buah proses, yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif. Kognitif adalah
proses seseorang memperoleh pengetahuan. Sedangkan ketika pikiran seseorang
terpengaruhi oleh pengetahuan yang diperolehnya merupakan penjelasan dari
afektif. Sedangkan ketika telah memasuki proses penilaian maka telah berada
pada proses yang terakhir, yaitu evaluatif.
·
Mekanisme Sosialisasi Budaya Politik
Sosialisasi
budaya politik dilakukan melalui sarana atau agen sosialisasi politik.
Sehubungan dengan sarana atau agen sosialisasi politik, terdapat 6 macam sarana
(agen) sosialisasi politik sebagai berikut:
1. Keluarga
Keluarga memiliki peranan strategis
dalam sosialisasi politik. Hal ini karena keluarga memiliki peranan yang sangat
dominan dalam pembentukan elemem-elemen kepribadian dasar, sikap-sikap serta
nilai-nilai sosial seorang anak.
2.
Kelompok pertemanan menjadi sangat penting di dalam sosialisasi
politik, karena hal-hal sebagai berikut:
1.
Akses yang sangat ekstensif dari kelompok pertemanan
terhadap anggota mereka.
2.
Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Dalam
kelompok pertemanan, anak-anak sangat mengutamakan pengalaman bersama dan
ambung rasa.
3. Sekolah
Sekolah memainkan peranannya sebagai
agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, berbagai kegiatan
ritual sekolah, dan kegiatan-kegiatan guru.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi yang dibentuk
atas dasar pekerjaan, dapat berfungsi sebagai saluran informasi tentang hal-hal
yang menyangkut masalah politik dengan jelas dan dapat pula memberikan
pengalaman sosialisasi yang cukup mendalam bagi individu-individu yang terlibat
di dalamnya.
5. Media massa
Melalui media massa, masyarakat
dapat memperoleh informasi-informasi politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dipanggung politik dengan cepat diketahui oleh masyarakat melalui media massa,
demikian pula, secara langsung maupun tidak langsung media massa merupakan
sarana yang kuat untuk membentuk sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik.
6. Kontak-kontak politik langsung
Kontak politik langsung itu misalnya
bertemu dengan pejabat daerah, petinggi partai, polisi, pegawai, dan
penyelenggara negara lainnya. Pertemuan atau pengalaman berhubungan dengan
seorang pejabat politik bisa mempengaruhi pandangannya mengenai politik.
·
Fungsi Dan Peranan Partai Politik
A.Fungsi Partai politik
1. Representasi
2. Rekrutmen dan Pembentukan elit
3. Perumusan tujuan
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
5. Sosialisasi dan mobilisasi politik; dan
6. Pengorganisasian Pemerintah.
1. Fungsi representasi
Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai politik adalah alat “pemasok” utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihan-rasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti berbisnis.
Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih. Tetapi “model ekonomi” ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak semata-mata mencari suara tetapi juga “membentuk” atau memobilisasi pendapat umum sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu, rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.
2. Pembentukan elit dan rekrutmen
Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai seorang “juru selamat” yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.
Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.
Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.
3. Perumusan tujuan
Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan. Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.
Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan, tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang realistik dan tujuan yang dapat dicapai.
Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa. Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai non-program semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan “kontrak dengan Amerika!” dalam pemilihan Kongres tahun 1994.
Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebih-lebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana partai “berkuasa” mengawasi aparatur negara pada level mana pun.
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh, agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam kepentingannya.
Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya, sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.
Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partai-partai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang terencana secara terpusat.
Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.
5. Sosialisasi dan mobilisasi
Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isu-isu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas. Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi “resmi” (misal, Marxisme-Leninisme, Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.
Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi, dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.
Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.
6. Pengorganisasian pemerintah
Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang dapat disebut sebagai “pemerintahan oleh partai.”
Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masing-masing berbeda prioritasnya.
Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun, kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya tarik kebersatuan partai.
Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat dilaksanakan dengan baik pula.
1. Representasi
2. Rekrutmen dan Pembentukan elit
3. Perumusan tujuan
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
5. Sosialisasi dan mobilisasi politik; dan
6. Pengorganisasian Pemerintah.
1. Fungsi representasi
Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai politik adalah alat “pemasok” utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihan-rasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti berbisnis.
Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih. Tetapi “model ekonomi” ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak semata-mata mencari suara tetapi juga “membentuk” atau memobilisasi pendapat umum sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu, rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.
2. Pembentukan elit dan rekrutmen
Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai seorang “juru selamat” yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.
Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.
Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.
3. Perumusan tujuan
Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan. Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.
Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan, tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang realistik dan tujuan yang dapat dicapai.
Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa. Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai non-program semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan “kontrak dengan Amerika!” dalam pemilihan Kongres tahun 1994.
Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebih-lebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana partai “berkuasa” mengawasi aparatur negara pada level mana pun.
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh, agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam kepentingannya.
Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya, sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.
Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partai-partai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang terencana secara terpusat.
Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.
5. Sosialisasi dan mobilisasi
Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isu-isu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas. Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi “resmi” (misal, Marxisme-Leninisme, Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.
Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi, dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.
Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.
6. Pengorganisasian pemerintah
Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang dapat disebut sebagai “pemerintahan oleh partai.”
Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masing-masing berbeda prioritasnya.
Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun, kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya tarik kebersatuan partai.
Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat dilaksanakan dengan baik pula.
Menampilkan Peran Serta Budaya
Politik Partisipan
Budaya
Partai Partisipan
·
Bentuk – Bentuk Budaya Politik
Partisipan
Budaya partisipan yaitu budaya
dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik, dan masyarakat yang
bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonomi, tetapi masih
bersifat pasif.
Contoh budaya politik partisipan ini antara lain adalah peranserta masyarakat dalam pengembangan budaya politik yang sesuai dengan tata nilai budaya bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan nyata tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, melainkan terdapat variasi campuran di antara tipe-tipe partisipan, pariokal atau subyek, ketiganya menurut para ahli tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Contoh budaya politik partisipan ini antara lain adalah peranserta masyarakat dalam pengembangan budaya politik yang sesuai dengan tata nilai budaya bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan nyata tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, melainkan terdapat variasi campuran di antara tipe-tipe partisipan, pariokal atau subyek, ketiganya menurut para ahli tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
·
Budaya Politik Yang Bertentangan
Dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa
Suatu pemerintahan dengan budaya
politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa yang
transparan (terbuka) apabila dalam penyelenggaraan sistem politik
pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses
kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh masyarakat sebagai warga bangsa
yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang terjadi
adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin bangsawan
memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan,tetapi lebih
rendah mereka biasa disebut vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun,
sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip
dengan perilaku para penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati
atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya
sudah banyak tidak sesuai lagi dengan pengertian politik yang
sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih menjadi
kendala bagi proses pendidikan politik karena masih di warnai oleh kuatnya
pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin
sulitnya mencari figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional.
Keadaan ini di rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam
mengoperasionalkan konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam khasanah budaya
bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era
Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN) tetap hidup dan bahkan
makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat publik, baik di
pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa dekat dia dapat.
Pertimbangan profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta republik telah
menjadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan “terstruktur” dalam kehidupan masyarakat
politik. Tentang perubahan struktur ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan
yang melelahkan,bahkan hampir tidak dapat diselesaikan. Dari kacamata
strukturalisme,perilaku individu akan ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure
conduct performance). Sebaliknya dari kacamata individualisme, struktur
adalah hasil perilaku para aktor politik. Titik tengahnya adalah menganggap
bahwa aksi para individu dan struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan
(dualitas). Aksi individu hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur
hanya biasa dijelaskan dari aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam
kacamata strukturasi ini, tiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan
aksi, tetapi dalam kerangka “aturan main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam
pengertian neoinstitusionalisme, ada “roh” yang memengaruhi cara pandang (sense
making) para individu yang akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling)
tindakan tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang
mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan adalah hingga saat
ini “belum pernah” atau “belum ada” contoh yang baik tentang penegakan perilaku
KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang terang-terangan
melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila semua orang
berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat profesional.
Ada beberapa
alasan yang melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam
politik (partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang mungkin kurang
tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap segala manfaat yang
diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan manfaat yang akan
diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2. Orang merasa tidak
melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan sebelumnya, sehingga apa
yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3. Seseorang
cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa tidak ada masalah
terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat mengubah dengan jelas
hasilnya.
4. Seseorang cenderung
kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya relatif akan
memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5. Jika
pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat
menjadi efektif.
6. Semakin besar kendala
yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinan bagi seseorang
untuk terlibat dalam politik.
·
Contoh Budaya Politik Partisipan Dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Kritis Memilih Partai Politik, Anggota Parlemen(DPR/DPRD dan
DPD)
Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada partai
politik, calon anggoya DewanPerwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya legislatif,
mulai dari tingkat pusat sampai dengankabupaten/kota. Sikap kritis ini sangat
penting karena merekalah yang akan mewakili rakyatIndonesia untuk
memperjuangkan aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik
siarahkan pada platform partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang berkuasa
menentukan kelayakan calinanggota legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus
melakukan seleksi dan penyaringansecara ketat terhadap para calin tersebut,
baik dari segi moral maupun kapasitasnya. Jika terdapatcalon anggota legislatif
tidak memenuhi persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran(integritas), dapat
dipercaya (kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian pada
umumnya(akuntabilitas publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih tentunya
adalah tidak memilihcalon tersebut.
Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya dapat
mengakses informasi seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin
anggota legislatif ataupun partai politik. Dengandemikian, rakyat sebenarnya
dapat menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benar- benar
memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji
muluk belaka.
Kritis Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih
ditekankan pada kualitas diricalon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi
visi kenegaraan, kredibilitas moral, amanah,kapabilitas, maupun kebersihan dari
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu,masyarakat pemilih
perlu mengetahui terlebih dahulu
track record
cali presiden dan wakil presiden. Masyarakat pemilih
perlu mengikuti perkembangan informasi melalui media massadan berbagai sumber
informasi lain uang akurat untuk melakukan pemeriksaam kembali (
crosscheck
) tentang kredibilitas moral dan kapabilitas calon presiden
maupun wakil presiden.
Kritisme dalam Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari segenap
rakyat Indonesia, sekaligusmerupakan perwujudan dari pemilu yang demokratis.
Oleh karena itu, sikapa kritis dari pemilihdan warga Idonesia sengat diperlukan
untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu diperlukan
persyaratan minimal, di antaranya sebagai berikut.
a.Peraturan perundangan yang mengatur pemilu harus tidak
tidak membuka peluang bagi terjadinyatindak kecurangan ataupun menguntungkan
satu atau beberapa pihak tertentu.
b.Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan pemiluharus tidak membuka peluang bagi terjadinya
kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
c.Badan/lembaga penyelenggara maupun panitia pemilu baik di
tingkat pusat maupun daerah harus bersifat mandiri dan independen.d)
Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai
untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemili, khususnya yang berkaitan
dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuanmempersiapkan saksi-saksi di tempat
pemungutah suara,
e.Lembaga/organisasi/jaringan pemamtauan pemilu harus
terlibat aktif dalam suatu proses dantahapan pemilu di semua tingkatan di seluruh
wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan penyelenggaraan pemilu.
f.Anggota masyarakat luas, baik secara perorangan dan
kelompok maupun yang terhimpun dalamorganisasi-organisasi kemasyarakatan harus
aktif dalam memantau setiap perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah
masing-masing.
g.Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian
secara khusus pada setiap penyelenggaraan pemilu.
h.mMemupuk kesadaran politik setiap warga negara supaya
semakin sadar akan hak politiknya dalam pemilu.
·
Contoh Perilaku Berperan Aktif Dalam
Politik Yang Berkembang Di Masyarakat
Komunitas pelajar seharusnya memilliki
peran besar untuk melakukanperubahan sosial politik yang lebih
baik. Melalui pemilu, pelajar bisamenjadikannya
sebagai momentun untuk mendorong perubahan sosial, politik,ekonomi, budaya, dan
lain-lain kearah yang lebih baik dengan melaluipemerintahan yang dipilih
melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus jugamenjadikan momentum yang damai dan
beradap. Semua ini dimaksudkan
sebagai upaya melakukan pendidikan
politik rakyat yang lebih luas, karenadengan demikian pelajar sebagai
komunitas terpelajar dan terdidik bisa menjadisalah
satu rujukan untuk menentukan pilihan pemilu secara arif, bijaksan, krisis,dan
rasional.Berkaitan dengan kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar
sebagaipemilih pemilu perlu mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif
dankonstruktif dalam penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain sebagai
berikut.
Aktif tanpa kekerasan dalam pemilihan
umumPelajar hendaknya berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum,
tetapihindarkan diri dari kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu
yangdemokratis, damai, dan beradap.
Pemilhan umum sebagai gerakan anti korupsiPelajar
sebagai pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calonpemimpin nasional
dan wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalammelaksanakan pemerintahan tidak
melakukan praktik korupsi, kolusi, dannepotisme.
Anti terhadap
Money PoliticsI
Money Politics
merupakan salah satu bentuk kecurangan
dalam pemilu.Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan hati nurani
danakal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di dalam
memilihpemilu.
Tidak mudah dieksploitasiPemilu merupakan
salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknyakomunikasi politik yang
demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu,pelajar sebagai pemilih pemula
jangan mudah dieksploitasi dalam pemiluuntuk kepentingan sesaat kelompok
tertentu.
Tidak ApatisKomunitas
pelajar yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatisdalam pemilu.
Gunakan hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akalpikiran yang sehat
ketika memilh wakil-wakil raktyat yang duduk diperlement, presiden dan wakil
presiden, partai politik sebagai kontestandalam pemilu, dan sebagainya
Ditulis Oleh : SMK 2 ~ SMK Negeri 2 Binjai
Anda sedang membaca artikel tentang Mendeskripsikan Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik. Oleh Admin, Kamu diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya