Thursday, September 20, 2012

Mendeskripsikan Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik



Mendeskripsikan Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik


Sosialisasi Budaya Politik


·         Makna Sosialisasi Kesadaran Politik

Sosialisasi politik merupakan konsep yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika Robert Hyman pada tahun 1950-an. Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu proses penyerapan nilai dari lingkungan sistem politik ataupun masyarakat terhadap individu atau terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan politik menyadari bahwa pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku politik selalu terjadi dan merupakan satu proses yang penting artinya dalam kehidupan politik. Kaitan antara sosialisasi politik dan sistem politik dijelaskan oleh David Easton dan Janck Dennis. Keduanya mengemukakan bahwa tujuan sosialisasi politik adalah untuk memantapkan sistem politik itu sendiri. Dengan diserapnya nilai-nilai politik atau orientasi-orientasi politik dari suatu sistem politik, maka diharapkan bahwa warganegara mempunyai seperangkat pengetahuan atau seperangkat nilai yang diperlukan untuk mendukung terpeliharanya sistem politik .
Sosialisasi politik merupakan satu konsep yang menentukan prilaku politik masyarakat. Dalam banyak masyarakat, pelestarian norma dan sikap politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya sangat penting artinya bagi tegak berdirinya satu kekuatan politik (partai). Sosialisasi yang baik dianggap dapat meningkatkan stabilitas politik. Proses sosialisasi politik ini dapat terjadi karena pendidikan politik yang sering diadakan.
Secara umum, sosialisasi melalui tiga buah proses, yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif. Kognitif adalah proses seseorang memperoleh pengetahuan. Sedangkan ketika pikiran seseorang terpengaruhi oleh pengetahuan yang diperolehnya merupakan penjelasan dari afektif. Sedangkan ketika telah memasuki proses penilaian maka telah berada pada proses yang terakhir, yaitu evaluatif.




·         Mekanisme Sosialisasi Budaya Politik

Sosialisasi budaya politik dilakukan melalui sarana atau agen sosialisasi politik. Sehubungan dengan sarana atau agen sosialisasi politik, terdapat 6 macam sarana (agen) sosialisasi politik sebagai berikut:

1. Keluarga
Keluarga memiliki peranan strategis dalam sosialisasi politik. Hal ini karena keluarga memiliki peranan yang sangat dominan dalam pembentukan elemem-elemen kepribadian dasar, sikap-sikap serta nilai-nilai sosial seorang anak.
2 Kelompok pertemanan menjadi sangat penting di dalam sosialisasi politik, karena hal-hal sebagai berikut:

1. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok pertemanan         terhadap anggota mereka.
2. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di  dalamnya.
Dalam kelompok pertemanan, anak-anak sangat mengutamakan pengalaman bersama dan ambung rasa.
3. Sekolah
Sekolah memainkan peranannya sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, berbagai kegiatan ritual sekolah, dan kegiatan-kegiatan guru.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi yang dibentuk atas dasar pekerjaan, dapat berfungsi sebagai saluran informasi tentang hal-hal yang menyangkut masalah politik dengan jelas dan dapat pula memberikan pengalaman sosialisasi yang cukup mendalam bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya.
5. Media massa
Melalui media massa, masyarakat dapat memperoleh informasi-informasi politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dipanggung politik dengan cepat diketahui oleh masyarakat melalui media massa, demikian pula, secara langsung maupun tidak langsung media massa merupakan sarana yang kuat untuk membentuk sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik.
6. Kontak-kontak politik langsung
Kontak politik langsung itu misalnya bertemu dengan pejabat daerah, petinggi partai, polisi, pegawai, dan penyelenggara negara lainnya. Pertemuan atau pengalaman berhubungan dengan seorang pejabat politik bisa mempengaruhi pandangannya mengenai politik.

·         Fungsi Dan Peranan Partai Politik


A.Fungsi Partai politik

1. Representasi
2. Rekrutmen dan Pembentukan elit
3. Perumusan tujuan
4. Artikulasi dan agregasi kepentingan
5. Sosialisasi dan mobilisasi politik; dan
6. Pengorganisasian Pemerintah.

1. Fungsi representasi

Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai politik adalah alat “pemasok” utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.

Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihan-rasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti berbisnis.

Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih. Tetapi “model ekonomi” ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak semata-mata mencari suara tetapi juga “membentuk” atau memobilisasi pendapat umum sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu, rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.

2. Pembentukan elit dan rekrutmen

Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai seorang “juru selamat” yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.

Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.

Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.

3. Perumusan tujuan

Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan. Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.

Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan, tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang realistik dan tujuan yang dapat dicapai.

Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa. Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai non-program semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan “kontrak dengan Amerika!” dalam pemilihan Kongres tahun 1994.

Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebih-lebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana partai “berkuasa” mengawasi aparatur negara pada level mana pun.

4. Artikulasi dan agregasi kepentingan

Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh, agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam kepentingannya.

Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya, sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.

Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partai-partai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang terencana secara terpusat.

Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.

5. Sosialisasi dan mobilisasi

Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isu-isu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas. Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi “resmi” (misal, Marxisme-Leninisme, Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.

Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi, dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.

Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.

6. Pengorganisasian pemerintah

Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang dapat disebut sebagai “pemerintahan oleh partai.”

Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masing-masing berbeda prioritasnya.

Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun, kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya tarik kebersatuan partai.

Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat dilaksanakan dengan baik pula.











Menampilkan Peran Serta Budaya Politik Partisipan


Budaya Partai Partisipan


·         Bentuk – Bentuk Budaya Politik Partisipan

Budaya partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik, dan masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonomi, tetapi masih bersifat pasif.
Contoh budaya politik partisipan ini antara lain adalah peranserta masyarakat dalam pengembangan budaya politik yang sesuai dengan tata nilai budaya bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan nyata tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, melainkan terdapat variasi campuran di antara tipe-tipe partisipan, pariokal atau subyek, ketiganya menurut para ahli tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)



·        Budaya Politik Yang Bertentangan Dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa

Suatu pemerintahan dengan budaya politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa yang transparan (terbuka) apabila dalam penyelenggaraan sistem politik pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh masyarakat sebagai warga bangsa yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang terjadi adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan,tetapi lebih rendah mereka biasa disebut  vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun, sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya sudah banyak tidak sesuai lagi dengan pengertian  politik yang sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih menjadi kendala bagi proses pendidikan politik karena masih di warnai oleh kuatnya pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin sulitnya mencari figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional. Keadaan ini di rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam mengoperasionalkan konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam khasanah budaya bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN) tetap hidup dan bahkan makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa dekat dia dapat. Pertimbangan profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta republik telah menjadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan “terstruktur” dalam kehidupan masyarakat politik. Tentang perubahan struktur ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan yang melelahkan,bahkan hampir tidak dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku individu akan ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance). Sebaliknya dari kacamata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para aktor politik. Titik tengahnya adalah menganggap bahwa aksi para individu dan struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan (dualitas). Aksi individu hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur hanya biasa dijelaskan dari aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam kacamata strukturasi ini, tiap individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka “aturan main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam pengertian neoinstitusionalisme, ada “roh” yang memengaruhi cara pandang (sense making) para individu yang akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling) tindakan tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan adalah hingga saat ini “belum pernah” atau “belum ada” contoh yang baik tentang penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang terang-terangan melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat profesional.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam politik (partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1.  Orang mungkin kurang tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan manfaat yang akan diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2.   Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi persoalan.
3.    Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa tidak ada masalah terhadap   hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat mengubah dengan jelas hasilnya.
4.   Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya relatif akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5.      Jika pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat menjadi efektif.
6.   Semakin besar kendala yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinan bagi seseorang untuk terlibat dalam politik.








·         Contoh Budaya Politik Partisipan Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara


Kritis Memilih Partai Politik, Anggota Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)

Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada partai politik, calon anggoya DewanPerwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya legislatif, mulai dari tingkat pusat sampai dengankabupaten/kota. Sikap kritis ini sangat penting karena merekalah yang akan mewakili rakyatIndonesia untuk memperjuangkan aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan pada platform partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang berkuasa menentukan kelayakan calinanggota legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus melakukan seleksi dan penyaringansecara ketat terhadap para calin tersebut, baik dari segi moral maupun kapasitasnya. Jika terdapatcalon anggota legislatif tidak memenuhi persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran(integritas), dapat dipercaya (kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian pada umumnya(akuntabilitas publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih tentunya adalah tidak memilihcalon tersebut.

Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya dapat mengakses informasi seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin anggota legislatif ataupun partai politik. Dengandemikian, rakyat sebenarnya dapat menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benar- benar memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji muluk  belaka.

Kritis Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih ditekankan pada kualitas diricalon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi visi kenegaraan, kredibilitas moral, amanah,kapabilitas, maupun kebersihan dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu,masyarakat pemilih perlu mengetahui terlebih dahulu
track record 
cali presiden dan wakil presiden. Masyarakat pemilih perlu mengikuti perkembangan informasi melalui media massadan berbagai sumber informasi lain uang akurat untuk melakukan pemeriksaam kembali (
crosscheck 
) tentang kredibilitas moral dan kapabilitas calon presiden maupun wakil presiden.

Kritisme dalam Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil

Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari segenap rakyat Indonesia, sekaligusmerupakan perwujudan dari pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, sikapa kritis dari pemilihdan warga Idonesia sengat diperlukan untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu diperlukan persyaratan minimal, di antaranya sebagai berikut.

a.Peraturan perundangan yang mengatur pemilu harus tidak tidak membuka peluang bagi terjadinyatindak kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.


b.Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemiluharus tidak membuka peluang bagi terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.


c.Badan/lembaga penyelenggara maupun panitia pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah harus bersifat mandiri dan independen.d)

Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemili, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuanmempersiapkan saksi-saksi di tempat pemungutah suara,


e.Lembaga/organisasi/jaringan pemamtauan pemilu harus terlibat aktif dalam suatu proses dantahapan pemilu di semua tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan penyelenggaraan pemilu.

f.Anggota masyarakat luas, baik secara perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun dalamorganisasi-organisasi kemasyarakatan harus aktif dalam memantau setiap perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah masing-masing.

 

g.Insan pers dan media massa harus memberikan perhatian secara khusus pada setiap penyelenggaraan pemilu.


h.mMemupuk kesadaran politik setiap warga negara supaya semakin sadar akan hak politiknya dalam pemilu.

·         

Contoh Perilaku Berperan Aktif Dalam Politik Yang Berkembang Di Masyarakat


Komunitas pelajar seharusnya memilliki peran besar untuk melakukanperubahan sosial politik yang lebih baik. Melalui pemilu, pelajar bisamenjadikannya sebagai momentun untuk mendorong perubahan sosial, politik,ekonomi, budaya, dan lain-lain kearah yang lebih baik dengan melaluipemerintahan yang dipilih melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus jugamenjadikan momentum yang damai dan beradap. Semua ini dimaksudkan
 
sebagai upaya melakukan pendidikan politik rakyat yang lebih luas, karenadengan demikian pelajar sebagai komunitas terpelajar dan terdidik bisa menjadisalah satu rujukan untuk menentukan pilihan pemilu secara arif, bijaksan, krisis,dan rasional.Berkaitan dengan kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar sebagaipemilih pemilu perlu mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif dankonstruktif dalam penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.

Aktif tanpa kekerasan dalam pemilihan umumPelajar hendaknya berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum, tetapihindarkan diri dari kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu yangdemokratis, damai, dan beradap.

Pemilhan umum sebagai gerakan anti korupsiPelajar sebagai pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calonpemimpin nasional dan wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalammelaksanakan pemerintahan tidak melakukan praktik korupsi, kolusi, dannepotisme.

Anti terhadap
 Money PoliticsI 

 Money Politics
merupakan salah satu bentuk kecurangan dalam pemilu.Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan hati nurani danakal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di dalam memilihpemilu.

Tidak mudah dieksploitasiPemilu merupakan salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknyakomunikasi politik yang demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu,pelajar sebagai pemilih pemula jangan mudah dieksploitasi dalam pemiluuntuk kepentingan sesaat kelompok tertentu.

Tidak ApatisKomunitas pelajar yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatisdalam pemilu. Gunakan hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akalpikiran yang sehat ketika memilh wakil-wakil raktyat yang duduk diperlement, presiden dan wakil presiden, partai politik sebagai kontestandalam pemilu, dan sebagainya










Ditulis Oleh : SMK 2 ~ SMK Negeri 2 Binjai

Christian angkouw Anda sedang membaca artikel tentang Mendeskripsikan Pentingnya Sosialisasi Pengembangan Budaya Politik. Oleh Admin, Kamu diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya